-
27 Agustus 2025 8:52 am

“Investasi Memang Harus di Market? Ternyata Engga Juga Loh!”

“Investasi Memang Harus di Market? Ternyata Engga Juga Loh!”
by Tim Akademi Keuangan

Disclaimer: Not Your Financial Advice. Do Your Own Research.

Kalau ngomongin investasi, banyak orang langsung mikirnya ke saham, reksa dana, atau bahkan crypto. Seakan-akan dunia investasi cuma ada di market, padahal kenyataannya jauh lebih luas dari itu. Coba deh lihat sekelilingmu: ada teman yang buka warung kopi kecil tapi berkembang jadi franchise, ada keluarga yang investasi di sawah atau tanah pinggiran kota lalu nilainya naik berkali lipat, bahkan ada orang yang investasi di ilmu alias kursus dan akhirnya naik gaji. Jadi, kalau ada yang bilang investasi itu “harus di market,” jangan buru-buru percaya. Faktanya, investasi bisa dalam bentuk apapun yang menambah nilai di masa depan. Market memang keren, tapi bukan satu-satunya jalan menuju cuan.

Tapi, kenapa persepsi masyarakat tentang investasi begitu sempit? Kenapa banyak orang seakan-akan merasa kalau belum main saham atau reksa dana berarti belum bisa dibilang investor? Nah, di sinilah kita perlu bahas masalah mendasar: cara pandang yang keliru soal investasi dan kenapa ini bisa bikin orang salah strategi finansial.

Masalah pertama datang dari literasi keuangan masyarakat Indonesia yang masih rendah. Menurut data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK tahun 2022, tingkat literasi keuangan Indonesia baru mencapai 49,68%. Artinya, dari 10 orang, hanya 5 yang benar-benar paham konsep dasar keuangan dan investasi. Akibatnya, sebagian besar orang hanya kenal investasi lewat iklan, media sosial, atau obrolan teman, yang hampir selalu menyoroti saham, reksa dana, atau instrumen pasar modal. Padahal, ada banyak alternatif investasi non-market yang bisa sama menguntungkan, bahkan lebih aman untuk profil risiko tertentu.

Masalah kedua adalah faktor psikologis FOMO (fear of missing out). Di era medsos, cerita sukses “cuan besar dari saham/crypto” lebih cepat viral dibanding cerita orang yang sukses investasi buka toko kelontong atau beli tanah. Narasi ini membentuk bias persepsi publik: market terlihat glamor, sementara investasi di dunia nyata terasa membosankan. Akhirnya, orang-orang terjun ke market bukan karena paham, tapi karena takut ketinggalan tren. Hasilnya? Banyak yang rugi karena masuk tanpa bekal pengetahuan.

Masalah ketiga, banyak orang salah kaprah bahwa investasi harus terlihat modern dan canggih. Beli mesin untuk usaha laundry dianggap bukan investasi, padahal itu jelas investasi aset produktif. Atau bayar kursus skill digital marketing dianggap “pengeluaran,” padahal itu investasi pada diri sendiri yang hasilnya bisa berlipat-lipat. Karena definisi sempit inilah, banyak orang melewatkan peluang investasi di luar market yang sebenarnya lebih sesuai dengan kondisi finansial mereka.

Masalah keempat adalah akses informasi yang timpang. Menurut BPS (2023), dari sekitar 65 juta UMKM di Indonesia, lebih dari 50% masih mengandalkan tabungan pribadi untuk mengembangkan usaha. Hanya sebagian kecil yang benar-benar paham bagaimana mengelola keuntungan sebagai bentuk investasi. Jadi jangan heran kalau mayoritas pelaku usaha kecil menengah lebih sering menaruh uangnya di tabungan bank ketimbang instrumen produktif lain, padahal inflasi tahunan Indonesia 2023 saja sudah di angka 2,61% (BPS), yang bahkan kenyataannya bisa jadi lebih dari ini, bisa sampai 10-20%/tahun. Artinya, uang yang nganggur di tabungan sebenarnya malah tergerus nilai riilnya.

Kalau begitu, gimana cara kita membuka perspektif bahwa investasi tidak terbatas di market? Apa saja opsi lain yang bisa dipilih, dan bagaimana cara menimbang kelebihan serta risikonya? Mari kita bedah beberapa strategi yang bisa jadi inspirasi untuk memperluas horizon investasi.

Pertama, investasilah di bisnis yang punya potensial di masa depan. Data Kementerian Koperasi dan UKM (2023) menunjukkan UMKM berkontribusi 60,5% terhadap PDB Indonesia. Artinya, skala kecil sekalipun, usaha punya potensi besar jadi mesin pertumbuhan ekonomi. Kalau kamu sudah punya usaha, mengalokasikan laba untuk beli peralatan, nambah stok, atau memperluas cabang bisa jadi investasi paling logis. Return-nya bisa lebih tinggi dari reksa dana, dan yang lebih penting, kamu punya kontrol langsung atas hasilnya.

Kedua, investasi di properti dan tanah. BPS mencatat, sektor properti dan real estate tumbuh 4,82% pada 2023, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Tanah di area strategis bisa naik nilainya 10–20% per tahun, bahkan lebih di daerah berkembang. Bedanya dengan market, properti cenderung lebih stabil dalam jangka panjang. Kekurangannya, memang butuh modal besar dan likuiditas rendah. Tapi buat pengusaha yang punya cashflow positif, properti bisa jadi “brankas nilai” yang aman.

Ketiga, investasi di pendidikan dan skill. Jangan remehkan hal ini. Menurut laporan BPS 2022, pekerja dengan pendidikan tinggi memiliki pendapatan rata-rata lebih dari dua kali lipat dibanding pekerja dengan pendidikan rendah. Kalau kamu pengusaha, skill baru (misalnya digital marketing, manajemen SDM, atau public speaking) bisa mengerek omzet tanpa harus keluar biaya iklan besar. Ini investasi intangible, tapi dampaknya langsung ke peningkatan daya saing.

Keempat, investasi di jaringan dan relasi. Ikut komunitas bisnis, seminar, atau networking event sering dianggap “buang-buang uang.” Padahal, data dari Global Entrepreneurship Monitor (2021) menunjukkan lebih dari 60% keberhasilan usaha kecil ditentukan oleh jaringan dan akses pasar. Jadi, biaya buat ikut event atau komunitas bisa balik dalam bentuk kerjasama bisnis, supplier baru, atau peluang ekspansi.

Kelima, investasi di aset riil produktif. Contoh: beli mesin produksi, kendaraan operasional, atau bahkan panel surya buat hemat listrik di pabrik. Aset ini tidak sekadar jadi beban, tapi langsung mengurangi biaya operasional. Bank Indonesia (2023) melaporkan banyak UMKM yang naik kelas karena berani investasi di aset tetap yang meningkatkan kapasitas produksi. Jadi, jangan remehkan belanja modal — kalau dihitung dengan benar, itu investasi.

Keenam, investasi sosial. Donasi atau CSR yang terukur bisa membangun reputasi bisnis, memperluas pasar, bahkan jadi diferensiasi brand. Misalnya, usaha kecil yang konsisten ramah lingkungan bisa menarik konsumen muda yang peduli sustainability. BPS melaporkan konsumen generasi milenial dan Gen Z sekarang lebih memilih brand yang punya nilai sosial. Jadi, investasi sosial bukan cuma soal “amal,” tapi strategi bisnis jangka panjang.

Dari berbagai contoh tadi, jelas bahwa investasi tidak selalu berarti beli saham atau reksa dana. Pertanyaannya sekarang: bagaimana kamu akan menerapkan perspektif baru ini dalam hidup dan bisnismu?

Investasi itu bukan hanya tentang market. Ia adalah soal menempatkan uang, waktu, dan energi ke tempat yang bisa memberikan nilai tambah di masa depan. Market tetap menarik, tapi bukan satu-satunya opsi. Dengan memperluas perspektif, kamu bisa memilih jalur investasi yang sesuai dengan kondisi keuangan, profil risiko, dan tujuan hidupmu. Apakah itu menambah mesin di usaha, membeli tanah di pinggiran kota, atau ikut pelatihan yang bikin skill-mu naik level, semua bisa jadi bentuk investasi yang sah dan menguntungkan.

Aksi nyatanya: minggu ini, coba tulis daftar potensi investasi di luar market yang paling relevan dengan kondisi kamu. Misalnya: upgrade peralatan usaha, ikut kursus baru, atau beli tanah kecil-kecilan. Bandingkan proyeksinya dengan return market. Dengan cara ini, kamu akan punya pandangan yang lebih seimbang: market oke, tapi dunia nyata juga penuh peluang. Ingat, investor sejati bukan hanya yang punya portofolio saham, tapi yang tahu bagaimana mengalikan nilai di setiap aspek hidupnya.
Artikel Lainnya yang Mungkin Menarik
Social Media
Alamat
081511111616
akademikeuangan.id@gmail.com
Berita Newsletter
`Berlangganan
-
@2025 Akademi Keuangan Inc.