-
26 Agustus 2025 8:06 am

Pengusaha Udah Kaya, Ga Butuh Asuransi, Emang Bener?

Pengusaha Udah Kaya, Ga Butuh Asuransi, Emang Bener?
by Tim Akademi Keuangan

Disclaimer: Not Your Financial Advice. Do Your Own Research.

Sering banget kita dengar ucapan, “Ah, ngapain beli asuransi? Toh saya udah kaya, duit banyak, properti banyak, saham ada, bahkan bisnis jalan.” Kedengarannya memang masuk akal, karena logikanya: kalau sakit tinggal bayar, kalau ada risiko tinggal cairkan aset. Tapi kenyataan di lapangan jauh lebih rumit. Banyak pengusaha sukses yang akhirnya jatuh miskin gara-gara satu kejadian tak terduga: penyakit kritis, kecelakaan, atau gugatan hukum. Kekayaan yang dibangun bertahun-tahun bisa ludes dalam hitungan bulan. Jadi, bener nggak sih kalau orang kaya nggak butuh asuransi? Atau justru mereka yang paling membutuhkannya?

Sebelum buru-buru jawab, mari kita lihat dulu kenapa banyak pengusaha merasa aman tanpa asuransi, dan di mana letak salah kaprahnya.

Masalah pertama: ilusi likuiditas. Banyak pengusaha merasa semua aset mereka bisa dengan mudah diuangkan kapan saja. Padahal, properti nggak bisa dijual cepat tanpa potongan harga besar, saham bisa turun saat pasar panik, dan uang di bisnis sering terikat modal kerja. Jadi meskipun kelihatannya kaya, kenyataannya dana tunai belum tentu siap saat risiko datang mendadak.

Masalah kedua: biaya risiko jauh lebih besar dari dugaan. Data Kementerian Kesehatan tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata biaya perawatan penyakit kritis di rumah sakit besar Indonesia bisa mencapai Rp500 juta–Rp1 miliar. Itu baru biaya medis. Belum termasuk kehilangan income karena nggak bisa kerja. Jadi walau seorang pengusaha punya tabungan miliaran, satu kejadian bisa langsung menggerus pundi-pundi simpanannya. Belum lagi, tambahan inflasi medis sekitar 15-20% setiap tahunnya, yang bikin biaya rumah sakit makin mahal.

Masalah ketiga: risiko hukum dan tanggung jawab keluarga. Pengusaha sering lupa bahwa risiko bukan hanya soal sakit. Misalnya, bisnis mereka menghadapi gugatan hukum, atau mereka meninggal dunia mendadak tanpa perencanaan. Harta bisa jadi rebutan, atau malah disita untuk bayar utang. Tanpa proteksi yang tepat, keluarga yang ditinggalkan bisa jadi korban, meskipun pewaris meninggalkan aset besar.

Masalah keempat: kesalahan mindset soal “asuransi itu biaya.” Banyak orang kaya menganggap premi asuransi hanya beban tambahan yang tidak perlu. Padahal, asuransi bukan soal untung-rugi jangka pendek, tapi soal transfer risiko. Justru dengan membayar sedikit premi, mereka sedang mengunci kepastian bahwa kekayaannya tetap aman meski badai apa pun datang.

Kalau begitu, mari kita bedah lebih dalam: bagaimana pengusaha bisa menempatkan asuransi secara cerdas sebagai bagian dari strategi manajemen risiko?

Pertama, asuransi sebagai benteng likuiditas. Ketika risiko besar terjadi, asuransi memberi dana tunai dalam waktu singkat. Ini mencegah pengusaha harus menjual aset dengan harga rugi. Bagi orang kaya, waktu adalah segalanya. Menjual properti atau saham butuh waktu, tapi klaim asuransi cair jauh lebih cepat.

Kedua, asuransi melindungi cash flow keluarga. Banyak pengusaha jadi tulang punggung keluarga besar. Kalau tiba-tiba sakit berat atau meninggal, cash flow keluarga bisa hancur. Dengan polis asuransi jiwa atau penyakit kritis, keluarga tetap bisa melanjutkan hidup tanpa terpaksa jual aset dalam keadaan tertekan.

Ketiga, asuransi sebagai strategi hukum. Polis asuransi jiwa tidak bisa digugat oleh pihak ketiga (kreditur) selama penerima manfaatnya jelas. Artinya, meski pengusaha punya utang usaha, manfaat asuransi tetap bisa langsung turun ke ahli waris tanpa tersangkut sengketa hukum. Ini fungsi perlindungan yang sering dilupakan.

Keempat, asuransi menjaga reputasi bisnis. Bayangkan seorang founder terkena penyakit serius tanpa proteksi. Perusahaan bisa goyah karena investor dan partner mulai ragu. Tapi dengan asuransi kesehatan atau key person insurance, keberlangsungan bisnis tetap aman, dan reputasi pengusaha tetap terjaga.

Kelima, premi kecil untuk proteksi besar. Seorang pengusaha mungkin punya aset Rp50 miliar, tapi dengan premi Rp500 juta per tahun, dia bisa mengamankan proteksi Rp100 miliar bagi keluarga atau bisnisnya. Ini leverage yang luar biasa. Jadi bukan soal mampu atau tidak mampu, tapi soal efisiensi proteksi.

Keenam, asuransi sebagai bagian dari warisan. Dengan perencanaan yang tepat, asuransi bisa jadi alat distribusi warisan yang lebih rapi dan cepat dibanding proses hukum perdata. Alih-alih anak cucu berebut aset fisik, mereka bisa langsung menerima dana tunai dari klaim asuransi. Ini mencegah konflik keluarga yang sering bikin harta warisan jadi masalah panjang.

Jadi, masih yakin kalau pengusaha kaya nggak butuh asuransi? Mari kita simpulkan dengan perspektif yang lebih jernih.

Kekayaan memang bisa memberi rasa aman, tapi bukan berarti kebal dari risiko. Justru semakin besar aset dan tanggung jawab, semakin penting punya perlindungan yang terstruktur. Asuransi bukan sekadar pelengkap, melainkan salah satu strategi kunci agar kekayaan tetap terjaga, bisnis tetap berlanjut, dan keluarga terlindungi dari guncangan yang tak terduga.

Aksi nyatanya: kalau kamu seorang pengusaha yang sudah punya aset miliaran, jangan tunda untuk evaluasi proteksi. Tanyakan pada diri sendiri: apakah keluarga dan bisnismu akan tetap aman kalau sesuatu terjadi besok? Kalau jawabannya ragu, saatnya bicara dengan perencana keuangan atau agen asuransi yang paham kebutuhan pengusaha. Jangan tunggu badai datang baru sadar payung itu penting.
Artikel Lainnya yang Mungkin Menarik
Social Media
Alamat
081511111616
akademikeuangan.id@gmail.com
Berita Newsletter
`Berlangganan
-
@2025 Akademi Keuangan Inc.