
by Tim Akademi Keuangan
Not Financial Advice. Do Your Own Research.
Sudah kejadian, bukan lagi bayangan. Dari Jakarta sampai Makassar, rakyat turun ke jalan memprotes tunjangan fantastis DPR yang dinilai tak masuk akal. Aksi yang awalnya damai berubah jadi kerusuhan mematikan: gedung DPRD dibakar, setidaknya lima orang tewas, puluhan luka-luka, ribuan massa ditangkap. Bursa saham langsung jatuh, rupiah melemah, dan harga kebutuhan sehari-hari mulai ikut bergerak naik. Situasi ini menunjukkan dengan jelas bahwa krisis demokrasi bukan cuma drama politik di Senayan, tapi punya efek langsung ke dapur rumah kita. Ketika kepercayaan publik runtuh, ekonomi ikut terombang-ambing, dan uang di rekening pun jadi lebih rapuh dari yang kita kira.
Meski pemerintah buru-buru mencabut tunjangan DPR dan menjanjikan moratorium fasilitas pejabat, kemarahan publik tidak serta-merta padam. Rasa ketidakadilan dan isu oligarki membuat banyak orang yakin bahwa masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar potongan anggaran. Buat kita sebagai masyarakat biasa, ini bukan sekadar tontonan di layar televisi. Ini soal bagaimana bisnis kecil kita bertahan, bagaimana tabungan tidak tergerus inflasi, dan bagaimana keluarga tetap punya kepastian di tengah ketidakpastian politik. Pertanyaannya, langkah konkret apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan keuangan pribadi ketika demokrasi sedang goyah?
Sebelum mencari strategi keluar, mari kita pahami dulu bagaimana krisis demokrasi bisa merembet menjadi krisis finansial bagi orang-orang biasa seperti kita.
Pertama, krisis demokrasi bikin investor asing dan domestik kehilangan rasa percaya. Data Bank Indonesia mencatat bahwa setiap kali ada ketidakpastian politik besar, arus modal asing keluar melonjak, dan ini langsung bikin rupiah melemah. Efeknya cepat sekali: harga impor naik, bahan baku makin mahal, dan ongkos usaha sehari-hari ikut melonjak. Jadi meski kamu tidak punya saham atau obligasi, kamu tetap terkena imbas dari ketidakstabilan politik karena semua barang kebutuhan akan ikut terdampak.
Kedua, krisis demokrasi sering melahirkan kebijakan ekonomi darurat yang tidak selalu rasional. Pemerintah bisa tiba-tiba naikin pajak, potong subsidi, atau utang baru yang membebani APBN. Untuk pengusaha kecil, ini bisa berarti ongkos produksi lebih tinggi. Untuk karyawan, bisa jadi ancaman pemotongan gaji atau PHK massal karena perusahaan harus efisiensi. Intinya, politik yang rusak bikin biaya hidup kita ikut mahal.
Ketiga, krisis demokrasi biasanya memicu inflasi yang lebih tinggi dari normal. BPS mencatat bahwa pada periode ketidakstabilan politik, inflasi bisa naik dua kali lipat dari rata-rata. Uang di tabungan makin cepat kehilangan nilainya. Kalau biasanya Rp500 ribu cukup buat sebulan kebutuhan pangan sederhana, saat inflasi meledak, angka itu bisa habis dalam dua minggu saja. Ini pukulan telak untuk mereka yang sudah pas-pasan.
Keempat, krisis politik juga menciptakan kepanikan massal. Orang buru-buru tarik uang dari bank, jual aset dengan harga murah, bahkan lari ke investasi spekulatif tanpa pikir panjang. Alhasil, posisi finansial makin rawan. Krisis demokrasi akhirnya bukan cuma soal suara di parlemen, tapi juga soal bagaimana kita menjaga ketenangan finansial di rumah sendiri.
Nah, setelah kita tahu betapa seriusnya masalah ini, sekarang mari kita bahas strategi nyata yang bisa dilakukan biar keuanganmu tetap aman di tengah badai politik.
Langkah pertama adalah diversifikasi aset. Jangan taruh semua uang di satu keranjang. Simpan sebagian di rekening bank, sebagian di emas, dan kalau bisa sebagian di mata uang asing. Sejarah membuktikan, saat krisis politik dan ekonomi, emas hampir selalu jadi penyelamat. Data World Gold Council menunjukkan harga emas cenderung naik ketika ketidakpastian meningkat. Diversifikasi bukan berarti harus kaya, tapi pintar membagi risiko. Atau, Anda juga bisa pertimbangkan mengamankan dana Anda di cryptocurrency seperti stablecoins, tapi ingat resiko Anda mesti ukur dan ga sembarangan masuk.
Langkah kedua, perkuat dana darurat. Normalnya cukup 3–6 bulan biaya hidup, tapi saat krisis politik, targetkan minimal 12-24 bulan. Simpan di instrumen yang gampang dicairkan seperti tabungan atau deposito jangka pendek. Ini bukan soal gaya investasi, tapi soal daya tahan hidup. Kalau tiba-tiba kehilangan pendapatan, dana darurat inilah yang bikin kamu bisa tetap bayar makan, sewa rumah, dan biaya sekolah anak.
Langkah ketiga, kurangi utang konsumtif. Krisis sering bikin bunga pinjaman naik. Kalau kamu masih nyicil barang-barang konsumtif seperti gadget atau kendaraan mewah, itu bisa jadi beban berat. Fokus dulu lunasi utang dengan bunga tinggi. Ingat, di masa krisis, fleksibilitas cash flow lebih penting daripada gengsi punya barang baru.
Langkah keempat, jaga cash flow tetap positif. Untuk pengusaha, artinya jangan ekspansi agresif dulu. Fokus pada bisnis inti yang menghasilkan pemasukan stabil. Untuk karyawan, artinya lebih hati-hati belanja, kurangi gaya hidup boros, dan utamakan kebutuhan pokok. Cash flow sehat adalah kunci supaya kamu bisa pilih strategi, bukan terpaksa ikut arus.
Langkah kelima, hindari jebakan investasi spekulatif. Saat krisis, penawaran investasi bodong bermunculan dengan embel-embel “anti-inflasi” atau “safe haven.” OJK mencatat laporan ribuan kasus penipuan setiap tahun, terutama di masa gejolak. Jangan mudah tergoda. Kalau mau investasi, pilih instrumen resmi: obligasi pemerintah, deposito bank legal, atau reksa dana yang diawasi OJK.
Langkah keenam, bangun jaringan sosial yang kuat. Krisis politik bukan hanya soal angka di rekening, tapi juga soal solidaritas. Punya komunitas pengusaha, keluarga besar, atau grup profesional bisa jadi penopang moral sekaligus finansial. Dari jaringan ini, kamu bisa dapat akses informasi, peluang usaha, bahkan bantuan darurat. Dalam krisis, uang penting, tapi jaringan sosial lebih penting.
Krisis demokrasi mengajarkan satu hal: kita tidak bisa mengontrol politik, tapi kita bisa mengontrol cara kita mengelola uang. Dengan strategi sederhana seperti diversifikasi, dana darurat, mengurangi utang, menjaga cash flow, serta hati-hati dengan investasi bodong, kamu bisa tetap tenang meski kondisi politik berantakan. Yang bertahan bukan yang paling kaya, tapi yang paling siap beradaptasi. Setelah tahu strateginya, saatnya kita turunkan semua teori ini jadi langkah nyata yang bisa kamu ambil mulai hari ini.
Aksi nyatanya: hari ini juga cek posisi keuanganmu. Sudahkah kamu punya dana darurat? Sudahkah utang konsumtif kamu dipangkas? Apakah asetmu masih numpuk di rupiah saja? Buat daftar langkah kecil yang bisa langsung kamu lakukan minggu ini. Ingat, perlindungan finansial dibangun sebelum badai, bukan setelah rumah roboh diterpa angin politik.