-
16 September 2025 8:46 am

Pemerintah Perpanjang Jangka Waktu PPh UMKM Orang Pribadi Sampai 2029: Apa Artinya Buat Kamu?

Pemerintah Perpanjang Jangka Waktu PPh UMKM Orang Pribadi Sampai 2029: Apa Artinya Buat Kamu?
by Tim Akademi Keuangan

Disclaimer: Not Your Financial Advice. Do Your Own Research.

Bayangkan kamu punya usaha kecil yang tiap harinya berjuang antara laba tipis dan biaya operasional yang makin naik. Lalu tiba-tiba ada kabar baik: pemerintah kasih “nafas tambahan” berupa perpanjangan jangka waktu PPh Final 0,5% khusus untuk UMKM orang pribadi, sampai tahun 2029. Sekilas terdengar manis, seolah ada beban yang diangkat dari pundak pengusaha kecil. Tapi pertanyaan besarnya: apakah ini cukup untuk bikin UMKM lebih sehat? Atau cuma jadi plester sementara buat luka yang lebih dalam?

Nah, sebelum kita telan mentah-mentah kabar ini sebagai kado manis dari pemerintah, mari kita kupas dulu masalah yang sebenarnya dihadapi UMKM di lapangan.

Pertama, realita di lapangan menunjukkan bahwa banyak UMKM kesulitan soal administrasi pajak. Bukan karena gak mau bayar, tapi lebih karena bingung cara menghitung, mencatat, dan melaporkan. Bahkan dengan tarif 0,5%, masih banyak yang telat atau salah lapor. Jadi masalah utamanya bukan hanya tarif, tapi literasi pajak dan sistem yang ribet.

Kedua, PPh Final 0,5% ini sejatinya sudah ada sejak 2018 dengan masa berlaku terbatas. Perpanjangan sampai 2029 memang memberi kelegaan, tapi jangan lupa: sifatnya final. Artinya, kalaupun usaha kamu rugi, kamu tetap harus bayar 0,5% dari omzet. Banyak pengusaha kecil yang akhirnya merasa “dirugikan” karena logikanya, masa rugi masih harus bayar pajak? Ini jadi dilema tersendiri.

Ketiga, UMKM orang pribadi itu jumlahnya ratusan ribu, bahkan jutaan. Mereka adalah tulang punggung ekonomi, tapi sering kali tidak punya akses ke akuntansi yang rapi. Akhirnya, perpanjangan insentif ini bisa jadi hanya dimanfaatkan sebagian kecil pelaku UMKM yang sudah melek administrasi. Yang lain? Bisa jadi tetap jalan gelap tanpa pencatatan.

Keempat, kebijakan ini rawan disalahgunakan. Dengan tarif rendah, ada saja oknum usaha besar yang “memecah” bisnisnya menjadi entitas kecil agar bisa tetap bayar 0,5% final. Akibatnya, tujuan awal untuk meringankan beban UMKM bisa kabur, dan negara pun kehilangan potensi pajak yang lebih adil.

Dari sederet masalah tadi, kita bisa lihat bahwa tarif murah bukan obat mujarab. Lalu apa yang sebenarnya bisa jadi strategi keluar bagi UMKM dan pemerintah? Mari kita bahas lebih kritis.

Pertama, kita perlu bedakan antara keringanan pajak dan literasi pajak. Tarif 0,5% memang meringankan secara kasat mata, tapi tanpa edukasi masif, UMKM tetap akan gagap. Strategi yang lebih berkelanjutan adalah meningkatkan literasi: bagaimana mencatat omzet, menghitung biaya, dan menyadari perbedaan antara omzet dan laba.

Kedua, pemerintah sebaiknya mengembangkan sistem digital pajak yang benar-benar ramah UMKM. Bukan sekadar aplikasi yang ribet, tapi interface sederhana seperti aplikasi keuangan harian. Bayangkan ada aplikasi pajak mirip e-wallet, di mana setiap transaksi langsung tercatat, dan di akhir bulan otomatis keluar jumlah pajak yang harus dibayar. Itu baru revolusi.

Ketiga, dari sisi UMKM sendiri, jangan terlalu terlena dengan angka 0,5%. Kalau bisnis terus berkembang, tarif ini bukan berarti permanen. Ada batas omzet yang membuat kamu harus pindah ke skema pajak normal. Jadi strategi terbaik adalah belajar dari sekarang: latih bisnis untuk siap menghadapi tarif pajak yang lebih besar di masa depan.

Keempat, bagi UMKM yang masih sering rugi, penting untuk bikin catatan laba rugi sederhana. Kalau omzet naik tapi laba minus, maka bayar 0,5% terasa makin berat. Dengan catatan rapi, kamu bisa tahu apakah usaha memang layak dilanjutkan, diubah strateginya, atau malah ditutup agar tidak terus-terusan jadi beban.

Kelima, dari perspektif keadilan pajak, perlu ada sistem pengawasan agar skema ini tidak disalahgunakan oleh usaha besar berkedok UMKM. Kalau tidak, perpanjangan ini hanya jadi celah bagi orang pintar main akal-akalan. Pemerintah harus aktif cek data, bukan sekadar duduk menunggu laporan.

Keenam, solusi jangka panjang adalah membangun budaya pajak yang sehat. Bukan hanya soal tarif, tapi soal trust. UMKM akan lebih rela bayar pajak kalau merasa uangnya kembali ke infrastruktur, akses modal, dan pelatihan yang nyata. Kalau trust ini tumbuh, maka tarif 0,5% bukan sekadar insentif, tapi pintu masuk menuju sistem pajak yang lebih sehat di masa depan.

Jadi, jelas bahwa perpanjangan ini bisa jadi peluang, tapi juga ada tantangan besar. Pertanyaannya: apa yang bisa kita lakukan mulai sekarang, sebagai pelaku usaha maupun pengamat pajak?

Pertama, bagi pelaku UMKM, jangan anggap kabar ini sebagai alasan untuk santai. Justru gunakan 4 tahun ke depan untuk membangun sistem pencatatan yang lebih rapi. Pisahkan rekening pribadi dan bisnis, catat semua transaksi, dan biasakan bikin laporan sederhana. Dengan begitu, kalau suatu hari tarif naik, kamu sudah siap mental dan finansial.

Kedua, bagi pemerintah dan pengamat pajak, ini momen tepat untuk dorong literasi dan transparansi. Insentif tanpa edukasi hanyalah angka di kertas. Tapi kalau UMKM diajak tumbuh lewat pengetahuan, maka pajak 0,5% bisa jadi fondasi menuju sistem perpajakan yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

Artikel Lainnya yang Mungkin Menarik
Social Media
Alamat
081511111616
akademikeuangan.id@gmail.com
Berita Newsletter
`Berlangganan
-
@2025 Akademi Keuangan Inc.