
by Tim Akademi Keuangan
Disclaimer: Not Your Financial Advice. Do Your Own Research.
Bayangkan kamu sudah rajin bayar premi asuransi bertahun-tahun dengan niat melindungi keluarga, tapi tiba-tiba muncul kabar: hasil klaim atau manfaat asuransi bisa kena pajak. Kaget? Bingung? Panik? Nah, keresahan ini pernah menyeruak ke publik saat muncul kasus Leony, yang tiba-tiba viral karena dikaitkan dengan pertanyaan: “Apakah asuransi itu termasuk objek pajak?” Pertanyaan sederhana tapi punya dampak besar, karena menyangkut jutaan orang Indonesia yang ikut asuransi.
Mari kita bedah dulu masalah apa sebenarnya yang membuat isu ini jadi ramai. Kenapa kasus Leony bisa bikin orang heboh? Karena di satu sisi, orang merasa sudah bayar premi bertahun-tahun, harusnya saat klaim cair itu murni hak mereka tanpa potongan apa pun. Tapi di sisi lain, negara punya aturan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis bisa masuk kategori penghasilan. Nah, benturan dua persepsi inilah yang bikin isu asuransi dan pajak jadi meledak di publik. Jadi sebelum kita masuk ke analisis kritis dan strategi solusi, penting untuk mengurai akar masalahnya dulu: apa yang bikin publik salah paham, apa yang bikin agen salah menjual, dan apa yang bikin aturan terasa membingungkan. Dengan begitu, kita bisa masuk ke tahap berikutnya dengan pikiran lebih jernih, bukan sekadar emosi.
Pertama, banyak orang Indonesia masih belum paham perbedaan antara premi asuransi dan manfaat asuransi. Premi adalah iuran rutin yang dibayar, sedangkan manfaat adalah uang yang diterima saat klaim terjadi (misalnya sakit, kecelakaan, atau tutup usia). Di sinilah sering terjadi kebingungan: mana yang jadi objek pajak? Apakah saat bayar premi, atau saat cair manfaatnya?
Kedua, aturan perpajakan di Indonesia memang tidak selalu mudah dipahami orang awam. Beberapa manfaat asuransi bisa dikecualikan dari objek pajak, tapi ada juga yang dianggap penghasilan sehingga kena pajak. Misalnya, uang pertanggungan jiwa umumnya bukan objek pajak, tapi kalau manfaatnya berupa investasi (seperti di unit link), maka bisa ada aspek pajak yang muncul. Jadi wajar publik bingung, apalagi ketika kasus Leony menyeruak ke media.
Ketiga, kasus Leony sendiri jadi sorotan karena publik melihat ada ketidakjelasan komunikasi. Di satu sisi, orang merasa asuransi itu “tabungan aman” yang seharusnya bebas pajak. Tapi di sisi lain, fiskus punya cara pandang berbeda: setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima seseorang bisa dianggap penghasilan, dan karenanya berpotensi kena pajak.
Keempat, masalah semakin pelik karena banyak agen asuransi menjual produk dengan janji “aman dari pajak” tanpa menjelaskan detail. Padahal, di balik janji itu ada syarat, pasal, dan ketentuan yang panjang. Ketika publik mendengar kasus Leony, orang jadi sadar: jangan-jangan mereka selama ini membeli produk dengan ekspektasi keliru soal pajak.
Dari keempat masalah tadi, jelas ada semacam kabut tebal yang menyelimuti hubungan antara pajak dan asuransi. Banyak orang merasa seolah keduanya berjalan di jalur paralel yang tidak pernah bertemu, padahal sebenarnya mereka sering bersinggungan di titik-titik penting: mulai dari premi yang dibayar, klaim yang diterima, sampai manfaat pajak yang seharusnya bisa didapat. Kabut ini tidak hanya membingungkan masyarakat awam, tapi juga membuat para profesional bingung dalam mengambil keputusan—apakah harus lebih fokus pada optimalisasi pajak, atau justru memperkuat perlindungan lewat asuransi.
Karena itu, saatnya kita menyalakan lampu sorot untuk menyingkap kabut ini. Kita perlu analisis kritis: bagaimana sebenarnya aturan main yang berlaku? Apakah pemerintah sudah memberikan panduan yang jelas, atau justru masih ada celah abu-abu yang bisa menjerumuskan kita di kemudian hari? Dan yang lebih penting lagi: apa strategi solusinya, baik bagi kita sebagai pemegang polis maupun bagi pembuat kebijakan? Sebab tanpa pemahaman menyeluruh, kita berisiko terjebak dalam dilema—membayar premi rajin-rajinnya, tapi akhirnya tetap kena “pajak kejutan” yang membuat manfaat proteksi jadi berkurang.
Dengan kata lain, di titik inilah kita harus berhenti sekadar jadi penonton. Mari masuk lebih dalam ke jantung persoalan: bongkar aturan, bedah logika kebijakan, lalu temukan langkah praktis yang bisa menjaga kita tetap terlindungi sekaligus tidak rugi secara pajak.
Pertama, kita harus kritis soal definisi objek pajak. UU PPh menyebutkan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak, baik dari dalam maupun luar negeri, adalah penghasilan yang kena pajak. Tapi di pasal lain, ada pengecualian. Manfaat asuransi jiwa misalnya, biasanya dikecualikan. Jadi, klaim asuransi kesehatan atau uang pertanggungan meninggal dunia pada dasarnya bukan objek pajak. Artinya, klaim asuransi bukan otomatis kena pajak, tapi juga bukan otomatis bebas pajak—tergantung jenisnya.
Kedua, masalah muncul ketika asuransi disatukan dengan instrumen investasi. Produk seperti unit link bisa menimbulkan hasil investasi yang dianggap sebagai penghasilan. Nah, di titik ini, pajak bisa masuk. Misalnya, keuntungan investasi dalam unit link bisa diperlakukan mirip seperti bunga deposito atau capital gain. Jadi, pemegang polis harus tahu bedanya: apakah dia beli proteksi murni, atau produk kombinasi proteksi-investasi.
Ketiga, kasus Leony membuka mata publik bahwa regulasi seringkali lebih rumit dari promosi produk. Agen bisa bilang “aman pajak”, padahal hanya sebagian manfaat yang benar-benar bebas pajak. Ini mengingatkan kita pentingnya literasi pajak di level masyarakat. Tanpa literasi, orang bisa merasa “dizalimi” ketika tahu ada aspek pajak yang tak mereka pahami sejak awal.
Keempat, dari sisi fiskus, transparansi komunikasi adalah kunci. Pajak itu bukan hanya soal memungut, tapi juga soal membangun trust. Kalau publik merasa dipermainkan, trust runtuh. Maka, pemerintah perlu memastikan ada panduan jelas, ringkas, dan mudah dipahami soal mana manfaat asuransi yang kena pajak dan mana yang tidak. Jangan cuma tersembunyi dalam bahasa pasal-pasal panjang.
Kelima, bagi pemegang polis, strategi solusinya sederhana: pisahkan niat antara proteksi dan investasi. Kalau tujuan utama adalah proteksi, pilih asuransi murni (term life, kesehatan, atau asuransi tradisional) yang manfaatnya relatif lebih jelas bebas pajak. Namun, kalau yang dipilih adalah PAYDI (Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi), alias unitlink yang populer di Indonesia, kamu harus sadar bahwa di dalamnya terdapat dua “kantong” sekaligus: satu kantong untuk proteksi, satu lagi untuk investasi. Nah, di sinilah sering muncul kebingungan.
Bagian proteksinya biasanya tetap diperlakukan sebagai manfaat asuransi—misalnya santunan meninggal dunia, itu umumnya tidak dikenakan pajak penghasilan. Tetapi bagian investasinya, yaitu hasil pengelolaan dana unitlink, bisa masuk kategori objek pajak. Misalnya ada penarikan nilai investasi (withdrawal) atau ketika polis berakhir dengan nilai tunai yang lebih tinggi dari total premi yang sudah dibayar, maka selisih keuntungan itu bisa dianggap penghasilan dan berpotensi kena pajak sesuai aturan yang berlaku.
Jadi, kalau tujuan utamamu memang proteksi, pastikan kamu memilih produk yang lebih lurus dan sederhana agar manfaatnya tidak tergerus tafsir pajak. Tapi kalau kamu masuk ke PAYDI dengan harapan ganda—proteksi plus cuan investasi—maka bersiaplah dengan kenyataan bahwa bagian cuan itu memang bisa dikenakan pajak. Itu bukan berarti unitlink jelek, melainkan kamu perlu punya ekspektasi realistis: proteksinya aman, investasinya normal seperti instrumen keuangan lain yang memang tunduk pada ketentuan pajak. Dengan pemahaman ini, kamu tidak akan merasa kecewa atau terjebak ilusi “bebas pajak total” hanya karena membeli produk asuransi.
Keenam, bagi industri asuransi sendiri, kasus Leony harus jadi cermin. Transparansi bukan lagi pilihan, tapi kewajiban. Kalau mereka terus menjual dengan narasi “aman pajak” tanpa edukasi detail, ke depan bisa muncul banyak Leony-Leony lain yang merasa dirugikan. Industri justru akan kena dampaknya, karena trust publik akan jatuh.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa perdebatan soal asuransi dan pajak bukan cuma masalah hukum kering yang penuh pasal-pasal dan regulasi, melainkan juga soal komunikasi yang sering terjebak dalam bahasa teknis yang membingungkan, soal literasi finansial yang masih rendah di masyarakat, dan pada akhirnya soal trust — kepercayaan publik terhadap lembaga, agen, bahkan negara. Banyak orang sebenarnya mau patuh pajak dan mau punya proteksi keuangan, tapi mereka mundur karena merasa dibohongi, tidak diberi penjelasan utuh, atau justru dikejar-kejar aturan yang terasa timpang.
Kalau kita tarik garis besarnya, masalah ini ibarat lingkaran setan: hukum dibuat untuk melindungi, tapi karena literasi rendah, aturan dianggap beban. Di sisi lain, komunikasi dari pihak otoritas maupun industri sering terasa “setengah hati” — transparan di atas kertas, tapi tidak terasa membumi di telinga orang awam. Akibatnya, trust makin tipis, padahal trust adalah pondasi utama kalau kita bicara asuransi maupun pajak. Tanpa trust, orang hanya ikut karena terpaksa, bukan karena sadar kebutuhan.
Maka, mari kita simpulkan dengan ajakan aksi yang nyata: kalau kamu baca artikel ini, jangan berhenti di level “mengeluh” atau “curiga”. Mulailah dari hal paling sederhana: rajin membaca dokumen resmi, berani bertanya pada ahlinya, dan jangan segan meminta penjelasan ulang sampai benar-benar paham. Dari sisi agen atau konsultan, beranilah membongkar mitos, bicara jujur walaupun pahit, dan hindari trik manipulatif yang hanya menguntungkan jangka pendek. Dari sisi regulator, sudah saatnya bahasa hukum disusun dengan lebih ramah manusia, bukan sekadar ramah birokrat.
Karena pada akhirnya, asuransi dan pajak itu bukan soal memeras atau mengikat tangan kita. Dua-duanya adalah instrumen untuk memastikan ada kepastian — kepastian bahwa keluarga kita aman kalau risiko datang, dan kepastian bahwa negara punya dana untuk terus berjalan. Yang membedakan hanyalah cara kita memaknainya: apakah sebagai beban, atau sebagai jembatan menuju keamanan jangka panjang.