
by Tim Akademi Keuangan
Disclaimer: Not Your Financial Advice. Do Your Own Research.
Bayangkan kamu lagi cari rumah. Ada dua rumah di lokasi yang sama, ukurannya sama, kualitas bangunannya juga setara. Bedanya, rumah pertama dijual Rp1 miliar, sementara rumah kedua Rp700 juta. Kalau kamu pembeli cerdas, tentu kamu pilih yang Rp700 juta, kan? Logika sederhana itulah yang jadi inti value investing. Bedanya, yang kamu beli bukan rumah, tapi saham perusahaan. Prinsipnya: beli aset berkualitas di harga di bawah nilai wajarnya, lalu sabar menunggu nilainya naik. Strategi ini dipopulerkan Benjamin Graham dan Warren Buffett, dan sampai sekarang masih relevan bahkan di pasar Indonesia.
Tapi tunggu dulu, meskipun kedengarannya simpel, banyak orang gagal paham soal value investing. Mereka kira cukup beli saham murah, tunggu naik, lalu cuan. Padahal “murah” di bursa saham itu bisa jebakan, sama kayak beli pisang yang sudah busuk meski harganya setengah harga pasar. Nah, sebelum kita bicara tentang 3 poin utama value investing, penting untuk kita paham dulu masalah yang bikin banyak investor nyangkut gara-gara salah kaprah dengan strategi ini.
Masalah pertama adalah banyak orang salah mengartikan harga murah dengan valuasi murah. Misalnya, saham perusahaan tambang dijual Rp50 per lembar, lalu orang berpikir itu “murah.” Padahal, kalau kinerjanya rugi bertahun-tahun dan punya utang segunung, harga Rp50 itu justru bisa terlalu mahal. Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), lebih dari 50% saham emiten tercatat dengan kapitalisasi kecil (small caps) sering berfluktuasi tajam karena spekulasi, bukan karena fundamental. Jadi, harga rendah ≠ value investing.
Masalah kedua adalah mindset instan. Banyak investor ritel di Indonesia masih menganggap saham itu “jalan cepat kaya.” Survei OJK tahun 2023 mencatat bahwa 76% investor ritel hanya berinvestasi jangka pendek (kurang dari 1 tahun), dengan tujuan trading harian atau mingguan. Value investing justru kebalikannya: strategi jangka panjang yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kalau mindset kita masih pengin cepat kaya, sulit sekali menerapkan prinsip value investing dengan benar.
Masalah ketiga adalah kurangnya disiplin dalam membaca laporan keuangan. Value investing mengandalkan data: rasio keuangan, arus kas, hingga analisis industri. Sayangnya, sebagian besar investor di Indonesia lebih percaya pada “tips saham” dari grup WhatsApp atau influencer. Padahal, menurut laporan IDX 2023, hanya sekitar 20% investor ritel yang benar-benar rutin membaca laporan tahunan emiten. Tanpa data yang jelas, orang mudah salah pilih saham “murah” yang sebenarnya perusahaan sakit.
Kalau begitu, bagaimana caranya kita menerapkan value investing yang benar, tanpa jatuh pada jebakan “saham murah” atau terjebak mindset cepat kaya? Nah, di sinilah 3 poin utama value investing bisa jadi kompas yang sederhana tapi powerful. Dengan memahami prinsipnya, kamu bisa menyaring peluang investasi lebih bijak, sabar, dan terukur. Mari kita bongkar satu per satu.
Poin pertama: Cari perusahaan dengan fundamental kuat. Value investing bukan soal harga saham di layar HP, tapi kualitas perusahaan di baliknya. Apakah dia untung konsisten? Apakah punya arus kas sehat? Apakah punya keunggulan kompetitif yang sulit ditiru? Buffett menyebutnya “economic moat.” Misalnya, Bank BCA dengan layanan transaksi yang sudah mendarah daging di masyarakat. Menurut laporan keuangan BCA 2023, laba bersihnya tembus Rp48,6 triliun, tumbuh 19,4% yoy. Itu tanda perusahaan kuat, bukan sekadar saham “murah.”
Poin kedua: Beli saat valuasi di bawah nilai intrinsik. Ini bagian yang sering bikin orang bingung. Nilai intrinsik itu perkiraan nilai asli suatu perusahaan. Kalau harga pasar di bawah nilai intrinsiknya, di situlah kesempatan emas. Misalnya, kamu hitung nilai wajar saham sebuah emiten Rp2.000 per lembar, tapi di pasar harganya Rp1.200. Itulah “diskon” yang dicari oleh value investor. Cara paling umum mengukurnya adalah dengan Price to Earnings Ratio (PER) dan Price to Book Value (PBV). Menurut BEI, rata-rata PER IHSG di 2023 ada di kisaran 12–14x. Jadi kalau ada saham perusahaan bagus dengan PER jauh di bawah rata-rata, bisa jadi peluang.
Poin ketiga: Sabar & konsisten pegang jangka panjang. Ini yang paling susah, karena melawan psikologi. Value investing bukan jalan cepat kaya. Warren Buffett pernah bilang, “Pasar saham itu alat transfer uang dari yang tidak sabar ke yang sabar.” Di Indonesia, investor yang disiplin menahan saham berkualitas sering kali baru merasakan hasil setelah 3–5 tahun. Contoh nyata: saham Telkom Indonesia (TLKM) yang di 2010 masih di kisaran Rp2.000, dan kini di 2023 berada di sekitar Rp4.000-an, belum termasuk dividen rutin setiap tahun. Sabar itu kunci.
Nah, setelah paham tiga poin utama value investing ini — fundamental kuat, beli di bawah nilai intrinsik, dan sabar jangka panjang — sekarang tinggal kamu sendiri yang tentukan: mau jadi investor yang ikut arus hype, atau mau jadi investor yang sabar menunggu pohon investasi berbuah lebat?
Value investing bukan sekadar strategi, tapi mindset hidup dalam mengelola uang. Sama seperti menanam pohon, kamu butuh benih yang sehat (perusahaan bagus), tanah yang subur (harga murah di bawah nilai wajar), dan waktu untuk tumbuh (sabar jangka panjang). Kalau salah satu elemen hilang, hasilnya tidak maksimal. Tapi kalau tiga-tiganya ada, hasilnya bisa jadi luar biasa.
Jadi, langkahmu hari ini: pilih satu perusahaan besar yang kamu kenal dan percaya, lalu pelajari laporan keuangannya. Hitung valuasi sederhananya, lalu bandingkan dengan harga pasar. Kalau ternyata murah, pertimbangkan untuk beli dan simpan. Ingat, value investing bukan tentang besok atau minggu depan, tapi tentang 5–10 tahun ke depan. Mulai sekarang, biarkan kesabaran jadi senjata utamamu.