
by Tim Akademi Keuangan
Disclaimer: Not Your Financial Advice. Do Your Own Research.
Pernah nggak kamu merasa “semua orang kok disuruh beli asuransi jiwa?” Dari teman kantor, grup WA keluarga, sampai iklan di YouTube — seakan-akan kalau kamu nggak punya polis, hidupmu dalam bahaya. Padahal faktanya, nggak semua orang butuh asuransi jiwa. Bukan berarti asuransi jelek, tapi produk ini memang didesain khusus untuk kondisi tertentu. Sama seperti helm: kalau kamu nggak naik motor, ngapain pakai helm tiap hari? Jadi, sebelum buru-buru daftar polis dan bayar premi yang bisa nguras cash flow, coba pikir dulu: apakah kamu termasuk orang yang benar-benar butuh asuransi jiwa, atau sebenarnya nggak perlu sama sekali?
Nah, di sinilah sering terjadi miskomunikasi. Banyak orang beli produk keuangan tanpa paham fungsinya, hanya karena takut ketinggalan atau merasa semua orang punya. Padahal, dengan memahami masalah utama yang sering dialami orang saat salah kaprah soal asuransi jiwa, kamu bisa lebih tenang mengambil keputusan. Mari kita bahas lebih dalam.
Masalah pertama adalah banyak orang membeli asuransi jiwa padahal tidak ada yang bergantung pada penghasilan mereka. Misalnya, kamu masih lajang, belum menikah, dan orang tua kamu sudah mandiri secara finansial. Dalam kondisi ini, siapa yang akan “kehilangan pendapatan” jika kamu meninggal dunia? Tidak ada. Jadi, premi yang kamu bayar tiap bulan sebenarnya tidak memberi manfaat signifikan. Data dari OJK (2024) mencatat, masih banyak klaim ditolak atau polis jadi tidak relevan karena nasabah membeli tanpa kebutuhan yang jelas.
Masalah kedua, orang salah paham antara asuransi jiwa dengan tabungan atau investasi. Ada produk unit link yang dipasarkan seolah-olah bisa jadi tabungan masa depan. Padahal, tujuan utama asuransi jiwa adalah proteksi, bukan menambah kekayaan. Kalau kamu hanya ingin menabung atau berinvestasi, instrumen lain seperti reksa dana, deposito, atau obligasi pemerintah bisa jauh lebih efisien dan transparan. Ketika orang tidak paham perbedaan ini, akhirnya mereka kecewa karena merasa hasil investasi “nggak sesuai janji agen.”
Masalah ketiga, banyak yang merasa wajib punya asuransi jiwa hanya karena tekanan sosial. Teman kantor punya polis, langsung ikut-ikutan. Atau ada agen yang bilang “nanti kamu nyesel loh kalau nggak ambil sekarang,” lalu buru-buru tanda tangan tanpa mikir jangka panjang. Akibatnya, banyak polis mangkrak (lapse) karena pemiliknya tidak sanggup bayar premi dalam jangka waktu lama. Lagi-lagi, ini bukan salah produknya, tapi salah pemahaman sejak awal.
Jadi, jelaslah bahwa masalah utama bukan pada asuransi jiwa itu sendiri, melainkan pada cara kita menilai apakah produk ini relevan dengan kondisi hidup kita. Untuk bisa mengambil keputusan yang cerdas, kita perlu tahu situasi apa saja yang benar-benar membuat seseorang wajib punya asuransi jiwa, dan kapan sebenarnya bisa tenang tanpa harus beli. Mari kita bongkar lebih kritis.
Pertama, asuransi jiwa hanya penting kalau ada orang yang bergantung pada penghasilanmu. Misalnya, kamu sudah menikah dan pasangan tidak bekerja, atau kamu punya anak yang masih kecil dan butuh biaya pendidikan, atau orang tua yang sakit-sakitan bergantung pada kiriman bulananmu. Dalam kondisi ini, kehilanganmu bukan cuma soal emosional, tapi juga finansial. Polis asuransi jiwa menjadi semacam “jaring pengaman” agar keluarga tidak langsung jatuh miskin.
Kedua, asuransi jiwa masuk akal kalau kamu punya utang besar yang belum lunas. Contohnya KPR, kredit usaha, atau pinjaman lain yang atas namamu. Kalau sesuatu terjadi padamu, utang itu tidak otomatis hilang — bisa diwariskan ke ahli waris. Tanpa proteksi, pasangan atau anakmu bisa kehilangan rumah atau aset usaha karena dipaksa melunasi kewajiban. Di sinilah asuransi jiwa jadi solusi realistis: menutup risiko finansial yang ditinggalkan. Bahkan saat kematianpun, ada utang menghantui kita, yaitu biaya pemakaman, pengurusan surat kematian, bea balik nama, dan berbagai macam surat lainnya yang terkait seperti pembagian waris, trust dll.
Ketiga, asuransi jiwa relevan kalau kamu sedang membangun aset jangka panjang tapi belum punya dana darurat memadai. Misalnya, kamu baru merintis bisnis dan penghasilanmu dipakai untuk modal. Kalau sesuatu terjadi, bisnis itu belum cukup kuat menopang keluarga. Polis asuransi jiwa menjadi “penjaga sementara” sampai kamu punya dana darurat 6–12 bulan pengeluaran, portofolio investasi mapan, atau bisnis yang bisa jalan sendiri tanpa kehadiranmu.
Nah, setelah kita bongkar dengan kritis, sekarang kamu bisa lihat bahwa asuransi jiwa bukan barang wajib untuk semua orang. Produk ini punya tempatnya sendiri, dan justru akan merugikan kalau dipakai sembarangan. Yang penting adalah bagaimana kamu bisa mengukur kondisi hidupmu secara jujur, bukan karena ikut-ikutan atau takut ketinggalan.
Intinya sederhana: kalau kamu masih single, pasti hidup selamanya, nggak ada tanggungan, dan nggak punya utang besar, kamu nggak perlu asuransi jiwa sekarang. Fokuslah bangun dana darurat, lindungi kesehatan dengan asuransi kesehatan, dan mulai berinvestasi untuk masa depan. Tapi begitu kamu punya tanggungan finansial, cicilan besar, atau keluarga yang bergantung pada income-mu, di situlah asuransi jiwa bisa jadi penyelamat.
Aksi nyatanya? Hari ini juga, coba cek kondisi hidupmu. Tulis: siapa saja yang akan kesulitan finansial kalau kamu tidak ada besok? Kalau jawabannya “tidak ada,” selamat, kamu bebas dari kebutuhan asuransi jiwa untuk sementara. Tapi kalau jawabannya ada — pasangan, anak, atau orang tua — maka saatnya kamu pertimbangkan polis jiwa yang sesuai kebutuhan, bukan karena gengsi atau ikut-ikutan. Sayangnya, semua orang di dunia ini tidak mungkin hidup sendiri dan pasti tergantung satu sama yang lain.