
by Tim Akademi Keuangan
Disclaimer: Not Your Financial Advice. Do Your Own Research.
Kamu pernah dengar cerita ekspatriat yang gajinya dolar tapi tinggal di Bali? Atau WNA yang kerja di startup Jakarta, terus kamu bertanya-tanya, “Lah, orang luar negeri kerja di Indonesia itu kena pajak juga gak sih?” Nah, ini pertanyaan klasik yang sering bikin bingung — bahkan di kalangan HRD dan pengusaha. Soalnya, dari luar kelihatannya simpel: ya mereka kan kerja di sini, jadi pasti kena pajak. Tapi tunggu dulu, urusannya gak sesederhana itu. Pajak buat orang asing diatur dengan sistem yang lumayan kompleks dan detail — tergantung berapa lama mereka tinggal, kerja di mana, dan apakah mereka punya special skill yang diakui pemerintah. Dan kalau kamu pengusaha yang punya karyawan asing, ini penting banget buat tahu: salah potong pajak bisa bikin perusahaan kamu kena sanksi juga.
Sebelum kita masuk ke fakta-faktanya, penting dulu buat ngerti kenapa topik ini sering bikin salah paham. Banyak orang masih nganggep semua tenaga asing otomatis bayar pajak kayak warga lokal, padahal Indonesia punya sistem pajak yang ngelihat “status tinggal” seseorang, bukan cuma kebangsaannya. Jadi, yuk kita bedah dulu masalah-masalah yang sering muncul biar gak salah langkah.
Masalah pertama: status pajak orang asing ditentukan oleh lamanya mereka tinggal di Indonesia. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2023 dan SDSN 2023 (bagian 7.1), kalau seorang WNA tinggal kurang dari 183 hari dalam jangka 12 bulan, mereka dianggap Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) — artinya cuma penghasilan yang didapat dari Indonesia aja yang kena pajak. Tapi kalau mereka tinggal lebih dari 183 hari atau berniat menetap secara permanen, mereka otomatis berubah jadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN), dan penghasilannya dari seluruh dunia (worldwide income) bisa dipajaki oleh Indonesia. Ini jadi krusial banget buat perusahaan yang kontrak tenaga asing — karena hitung-hitungannya bisa berubah di tengah tahun kerja.
Masalah kedua: tidak semua tenaga asing diperlakukan sama. Sejak keluarnya PMK 81 Tahun 2024, Indonesia memberikan fasilitas pajak bagi tenaga asing dengan keahlian tertentu — seperti di bidang sains, teknologi, engineering, atau matematika (STEM). Mereka yang memenuhi kriteria “tenaga ahli” ini hanya dikenai pajak atas penghasilan dari Indonesia saja, meskipun status mereka sudah menjadi SPDN. Fasilitas ini berlaku selama 4 tahun pertama sejak mereka resmi menjadi penduduk pajak Indonesia. Setelah itu, barulah mereka dikenai sistem pajak worldwide income. Dengan kata lain, negara ingin menarik lebih banyak tenaga ahli tanpa membebani mereka secara pajak berlebihan.
Masalah ketiga: banyak perusahaan (bahkan HRD) gak ngerti aturan ini. Akibatnya, potongan pajak jadi salah — entah terlalu besar (karena dianggap SPDN padahal belum 183 hari), atau terlalu kecil (karena masih dianggap SPLN padahal udah menetap). Belum lagi, ada WNA yang datang dengan visa kerja tapi gajinya dibayar dari luar negeri. Nah, ini abu-abu banget kalau gak dipahami betul, karena bisa kena double taxation kalau tidak menggunakan fasilitas P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda). Jadi, bukan cuma WNA yang harus hati-hati, tapi juga perusahaan yang mempekerjakan mereka.
Kalau kamu mulai merasa, “Wah ribet juga ya,” tenang dulu. Ribet kalau gak tahu dasarnya, tapi kalau paham konsepnya, sistem pajak untuk orang asing di Indonesia sebenarnya sangat logis dan terstruktur. Jadi, biar gak salah kaprah, yuk kita bahas 3 fakta penting yang bisa bantu kamu — baik sebagai pengusaha maupun karyawan asing — biar ngerti cara kerja sistemnya dan gimana mengoptimalkannya.
Fakta pertama: Lama tinggal menentukan status pajak, bukan paspor. Jadi meskipun kamu warga negara luar, kalau tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, maka kamu dianggap Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN). Artinya, kamu wajib lapor dan bayar pajak penghasilan seperti warga lokal. Sebaliknya, kalau kamu hanya kerja beberapa bulan, kamu masuk kategori Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) dan kena potongan PPh Pasal 26 sebesar 20% final. Simpelnya, the longer you stay, the deeper the tax bite. Tapi aturan ini juga adil — karena yang tinggal lebih lama dianggap ikut menikmati fasilitas negara, jadi wajar ikut bayar pajak seperti warga lokal.
Fakta kedua: Tenaga ahli punya privilege pajak khusus. Berdasarkan PMK 81 Tahun 2024 Pasal 442–447, tenaga asing dengan keahlian tertentu bisa mendapatkan fasilitas bahwa mereka hanya kena pajak atas penghasilan dari Indonesia saja, meskipun sudah menjadi SPDN. Fasilitas ini berlaku selama 4 tahun pertama. Tujuannya sederhana: biar Indonesia bisa menarik lebih banyak talenta asing berkualitas tanpa mereka takut “pajak dobel” dari negara asalnya. Tapi jangan lupa, fasilitas ini gak otomatis. Harus ada bukti keahlian (sertifikat, ijazah, atau pengalaman kerja minimal 5 tahun) dan komitmen untuk transfer ilmu ke tenaga lokal.
Fakta ketiga: Potongan pajak tergantung mekanisme kerja dan kontrak. Kalau WNA bekerja langsung di perusahaan Indonesia, maka perusahaan wajib memotong PPh Pasal 21 (untuk SPDN) atau PPh Pasal 26 (untuk SPLN). Tapi kalau WNA bekerja lewat kantor luar negeri atau bentuk usaha tetap (BUT), maka BUT-lah yang bertanggung jawab atas pajaknya. Ini penting banget karena kesalahan dalam menentukan “siapa yang wajib potong” bisa bikin perusahaan kena sanksi administrasi dari DJP. Solusinya: pastikan selalu cek legalitas visa, kontrak kerja, dan status domisili pajak WNA di awal, bukan saat sudah berjalan.
Nah, setelah tahu 3 fakta penting tadi, sekarang kita masuk ke bagian yang paling praktis: apa langkah nyata yang bisa dilakukan oleh perusahaan dan tenaga asing biar gak salah arah dan terhindar dari risiko pajak ganda?
Langkah pertama: cek status pajak sejak awal masa kerja. Jangan tunggu 6 bulan baru ngeh. Gunakan patokan 183 hari untuk menentukan apakah tenaga asingmu termasuk SPLN atau SPDN. Kalau masih SPLN, gunakan PPh 26 final. Kalau sudah SPDN, ubah sistem potongannya ke PPh 21 progresif. Dan kalau dia punya keahlian tertentu, bantu proses permohonan fasilitas “only Indonesian income” ke DJP sesuai PMK 81/2024 Pasal 446–447. Jangan lupa simpan semua dokumen pendukung (NPWP, visa, kontrak, dan bukti keahlian) biar audit pajak nanti aman.
Langkah kedua: selalu komunikasikan perubahan status dan kontrak kerja ke bagian pajak perusahaan. Banyak WNA yang awalnya hanya dikontrak 5 bulan tapi akhirnya diperpanjang jadi 9 bulan. Kalau HRD gak lapor ke bagian pajak, potongan tetap pakai PPh 26 padahal sudah seharusnya dikreditkan ke PPh 21. Akibatnya, perusahaan rugi karena overpay, dan WNA juga bingung karena laporan SPT-nya gak sinkron. Intinya, komunikasi itu kunci. Pajak bukan cuma soal bayar, tapi juga soal lapor dengan data yang akurat dan konsisten.
Setelah semua langkah praktis itu dijalankan, sekarang saatnya kita kembali ke esensi dari semua ini — bahwa sistem pajak bukan dibuat untuk menakut-nakuti, tapi untuk menciptakan keadilan dan kepastian. Termasuk bagi orang asing yang datang untuk bekerja dan berkontribusi di Indonesia.
Jadi, jawabannya: ya, orang luar negeri yang bekerja di Indonesia tetap kena pajak, tapi sistemnya disesuaikan dengan durasi tinggal, jenis pekerjaan, dan keahlian yang mereka miliki. Pemerintah Indonesia melalui UU No. 6 Tahun 2023 dan PMK 81 Tahun 2024 sudah berusaha menyeimbangkan dua hal: menarik tenaga asing berkualitas dan menjaga keadilan fiskal di dalam negeri. Jadi kalau kamu pengusaha yang punya karyawan asing, pastikan urusan pajak ini gak diabaikan. Dan kalau kamu WNA yang kerja di sini, nikmati nasi padang, tapi jangan lupa isi SPT juga.