-
19 September 2025 9:29 am

Ternyata Masalah Uang Bukan Nyari Aja, Tapi Perlu Ada Menjaga & Membagi Lho!

Ternyata Masalah Uang Bukan Nyari Aja, Tapi Perlu Ada Menjaga & Membagi Lho!
by Tim Akademi Keuangan

Not Your Financial Advice. Do Your Own Research.

Pernahkah kamu membayangkan perjalanan hidupmu seperti sebuah pendakian gunung? Di bawah sana, titik start masih terasa ringan: tas belum terlalu berat, kaki masih bertenaga, dan semangat membuncah penuh ambisi. Tapi makin tinggi kamu naik, oksigen menipis, jalur makin terjal, dan setiap langkah terasa lebih menantang. Begitu sampai di puncak, keindahannya memang luar biasa—pemandangan tak tergantikan, rasa pencapaian yang membuat dada membusung bangga. Namun, perjalanan tidak selesai di sana. Justru, momen terpenting sering kali ada di saat menuruni gunung: bagaimana tetap selamat, tidak tergelincir, dan pada akhirnya bisa kembali pulang dengan cerita bermakna. Begitu juga dengan uang: ada fase mengumpulkan, ada fase mempertahankan, lalu ada fase membagikan. Dan kalau kita salah strategi di salah satu fase, perjalanan hidup finansial bisa berakhir tragis—bukan di puncak indah, melainkan di jurang yang menyakitkan.

Masalahnya, kebanyakan orang hanya fokus pada fase pertama: mengumpulkan kekayaan. Kita bekerja mati-matian, lembur tanpa henti, rela mengorbankan kesehatan demi angka di rekening yang terus bertambah. Sayangnya, banyak yang berhenti berpikir setelah itu. Mereka tidak menyiapkan strategi untuk mempertahankan hasil kerja kerasnya, apalagi merencanakan bagaimana membagikannya dengan cara yang bijak. Akibatnya, kekayaan yang susah payah dikumpulkan bisa hilang begitu saja karena salah kelola, gaya hidup boros, atau sengketa warisan di keluarga. Lebih buruk lagi, ada orang yang mati-matian cari uang tapi lupa bahwa tujuan akhirnya bukan sekadar menimbun, melainkan memastikan hidupnya (dan orang-orang yang dicintainya) punya makna.

Nah, kalau kita ingin perjalanan finansial kita benar-benar seperti pendakian yang penuh pelajaran, kita tidak bisa hanya asal jalan tanpa peta atau bekal yang jelas. Setiap fase dalam hidup—mengumpulkan, mempertahankan, hingga membagikan kekayaan—punya tantangan yang berbeda, sama seperti jalur mendaki yang kadang mulus, kadang licin, kadang penuh bebatuan. Kalau kita hanya fokus pada satu fase, misalnya hanya mengejar uang tanpa memikirkan cara mempertahankan atau membagikannya, ibarat pendaki yang naik dengan semangat membara tapi tanpa persiapan untuk turun. Dan kita tahu, banyak orang justru celaka bukan saat mendaki, melainkan saat menuruni gunung. Maka dari itu, kita perlu memahami tiga fase finansial ini dengan kacamata kritis: apa risikonya, apa jebakannya, apa peluangnya. Hanya dengan cara itu, kita bisa menemukan strategi supaya setiap fase bisa kita lalui dengan lebih aman, lebih selamat, dan tentu saja lebih bermakna.

Fase pertama, mengumpulkan kekayaan, adalah masa di mana energi, waktu, dan tenaga kita paling banyak dikuras. Inilah fase “menanjak” dalam pendakian. Sebagian besar orang mengira bahwa kerja keras tanpa henti adalah satu-satunya kunci. Padahal, realitanya jauh lebih kompleks. Riset Bank Dunia menunjukkan bahwa banyak kelas pekerja di negara berkembang tidak bisa naik kelas hanya dengan menambah jam kerja. Ada faktor efisiensi, literasi finansial, dan kemampuan investasi yang menentukan apakah uangmu hanya habis untuk bertahan hidup atau bisa tumbuh menjadi modal untuk fase berikutnya. Jadi, fase pertama bukan hanya tentang kerja keras, melainkan juga tentang kerja cerdas.

Memasuki fase kedua, mempertahankan kekayaan, masalah yang muncul sering lebih halus tapi mematikan. Kalau diibaratkan mendaki, ini seperti berada di puncak: angin kencang, oksigen menipis, dan langkah kecil bisa menentukan apakah kamu selamat atau jatuh. Di sinilah muncul ancaman inflasi, gaya hidup konsumtif, salah pilih investasi, hingga risiko kesehatan yang menguras tabungan. Banyak orang berpikir, begitu tabungannya mencapai angka tertentu, mereka aman. Padahal, mempertahankan nilai uang jauh lebih sulit ketimbang mengumpulkannya. Fase ini menuntut disiplin, diversifikasi, dan perlindungan aset. Itu sebabnya konsep proteksi (asuransi, dana darurat, dan perencanaan pajak) tidak bisa diabaikan.

Lalu ada fase ketiga: membagikan kekayaan. Banyak orang gagal memahami bahwa fase ini sama pentingnya dengan dua fase sebelumnya. Mengapa? Karena hidup bukan hanya soal seberapa banyak yang bisa kita simpan, tapi seberapa besar dampak yang bisa kita tinggalkan. Ini bukan cuma bicara tentang warisan bagi anak cucu, tapi juga kontribusi sosial: zakat, donasi, filantropi, atau bahkan sekadar membantu tetangga yang kesusahan. Dari perspektif psikologi, orang yang bisa berbagi cenderung memiliki kesehatan mental lebih baik karena mereka merasa hidupnya bermakna. Tapi sayangnya, tanpa perencanaan, fase ini sering berakhir menjadi sengketa atau pemborosan. Warisan bisa jadi sumber konflik, donasi bisa salah sasaran, dan harta bisa habis tanpa bekas.

Strateginya? Pertama, kenali prioritas di tiap fase. Di fase mengumpulkan, fokuslah pada menambah keterampilan, memperluas jaringan, dan belajar mengelola cashflow. Di fase mempertahankan, bangun sistem: punya portofolio investasi yang terdiversifikasi, asuransi yang memadai, dan disiplin pajak yang sehat. Di fase membagikan, susun perencanaan waris dan hibah, libatkan konsultan hukum jika perlu, dan tetapkan value keluarga agar kekayaanmu tidak hanya berupa angka, tapi juga warisan nilai. Dengan begitu, perjalanan finansialmu bukan hanya cerita tentang “pernah kaya,” melainkan tentang bagaimana kamu mengelola hidupmu dari awal sampai akhir dengan penuh kesadaran.

Nah, setelah kita membedah tiga fase ini dan mulai paham bahwa strategi di setiap tahap hidup tidak bisa disamaratakan, muncul pertanyaan besar yang sering membuat orang berhenti di tengah jalan: “Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?” Banyak orang hanya berhenti di level paham konsep, tapi tidak pernah bergerak. Sama seperti pendaki yang sibuk membaca peta dan teori survival, tapi tak pernah benar-benar melangkah. Padahal, kunci dari perjalanan finansial bukan hanya pengetahuan, melainkan eksekusi nyata. Jadi, setelah kita tahu cara mengumpulkan dengan cerdas, mempertahankan dengan disiplin, dan membagikan dengan bijak, tugas berikutnya adalah menerjemahkan pemahaman itu menjadi aksi sehari-hari. Pertanyaannya sederhana tapi sangat penting: apa langkah konkret yang bisa kamu mulai hari ini, tanpa harus menunggu gaji naik, kondisi ideal, atau momen sempurna yang mungkin tidak pernah datang?

Langkah pertama adalah melakukan refleksi: kamu sedang ada di fase yang mana? Jangan-jangan kamu masih sibuk mengejar fase mengumpulkan, tapi sudah tergoda untuk hidup seakan-akan sudah di fase mempertahankan. Misalnya, penghasilan masih pas-pasan, tapi gaya hidup sudah seperti orang mapan. Atau sebaliknya, kamu sudah punya cukup aset, tapi masih bekerja mati-matian seakan hidupmu bergantung pada setiap lembur tambahan. Menentukan fase akan membantumu membuat strategi yang lebih realistis.

Langkah kedua, susun prioritas finansial dalam bentuk tertulis. Catat penghasilan, pengeluaran, aset, dan liabilitas. Jangan hanya mengandalkan ingatan atau “feeling.” Banyak orang jatuh bukan karena tidak punya uang, tapi karena tidak tahu ke mana uangnya pergi. Dengan catatan ini, kamu bisa mulai mengarahkan aliran uangmu sesuai dengan kebutuhan fase.

Langkah ketiga, jangan abaikan literasi finansial. Dunia keuangan terus berubah, produk-produk baru muncul, regulasi juga berganti. Kalau kamu berhenti belajar, kamu bisa tertinggal, dan lebih parahnya, bisa ditipu. Investasikan waktumu untuk belajar hal-hal dasar: bagaimana membaca laporan keuangan pribadi, bagaimana menghitung inflasi, bagaimana memahami produk investasi. Jangan malu bertanya pada ahlinya, tapi juga jangan mudah percaya begitu saja.

Langkah keempat, jadikan berbagi sebagai gaya hidup, bukan sekadar kewajiban. Banyak orang menunda berbagi sampai merasa “cukup.” Masalahnya, rasa cukup itu sering tidak pernah datang. Mulailah dengan yang kecil: sisihkan 2–5% dari penghasilanmu untuk donasi atau kegiatan sosial. Jangan anggap remeh. Seiring waktu, bukan hanya orang lain yang terbantu, tapi juga mentalmu menjadi lebih sehat karena merasa bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri.

Langkah kelima, bangun sistem proteksi jangka panjang. Tidak ada gunanya kamu susah payah mengumpulkan jika semua bisa hilang karena satu kecelakaan atau penyakit serius. Pastikan kamu punya dana darurat, asuransi kesehatan, dan rencana waris yang jelas. Ingat, proteksi itu bukan biaya, tapi fondasi. Sama seperti saat mendaki gunung: tali pengaman dan sepatu yang kokoh mungkin terasa berat, tapi justru itulah yang menyelamatkanmu ketika jalannya licin.

Akhirnya, sadarilah bahwa tujuan utama dari tiga fase ini bukan sekadar uang, melainkan hidup yang lebih bermakna. Uang hanyalah alat—ia bisa mengangkatmu, tapi juga bisa menjatuhkanmu. Dengan memahami fase mengumpulkan, mempertahankan, dan membagikan, kamu sedang belajar menyeimbangkan ambisi dengan kebijaksanaan. Jadi, jangan tunggu sampai nanti. Mulailah sekarang. Atur strategi, jalani fase dengan sadar, dan pastikan pendakian finansialmu bukan hanya sampai puncak, tapi juga berakhir dengan pulang selamat dan penuh cerita.

Keputusan keuangan tetap sepenuhnya ada di tanganmu. Setiap langkah finansial membawa risiko, dan kamu yang paling tahu kondisi kesehatan, pekerjaan, keluarga, serta tujuan hidupmu. Selalu lakukan riset tambahan sebelum mengambil keputusan besar, baik itu investasi, asuransi, maupun perencanaan waris. Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan perencana keuangan profesional atau penasihat hukum bila diperlukan. Ingat, uangmu adalah tanggung jawabmu, dan perjalanan finansialmu adalah pendakian pribadimu sendiri.
Artikel Lainnya yang Mungkin Menarik
Social Media
Alamat
081511111616
akademikeuangan.id@gmail.com
Berita Newsletter
`Berlangganan
-
@2025 Akademi Keuangan Inc.